Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hipokrisi Moral and Etika Para Akademisi

Belakangan ini, kita melihat bagaimana para akademisi menyuarakan mengenai degradasi demokrasi Indonesia yang jauh dari moral dan etika. Atas dasar penyalahgunaan wewenang, alat negara, dan aspek lainnya, berlangsungnya pemilu di Indonesia diprediksi penuh dengan kecurangan karena ketidaknetralan lembaga tinggi negara, yaitu presiden. Dalam konteks ini, saya sama sekali tidak ingin membahasnya. Yang ingin saya garis bawahi adalah klaim-klaim mengenai moral dan etika yang berkembang tersebut banyak dilontarkan oleh para guru besar, atau kita kenal dengan sebutan professor. Tentu, saya sangat hormat dengan jabatan fungsional professor karena dianggap memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan di Indonesia. Tentu, klaim ini juga masih bisa diperdebatkan.


Apa salahnya klaim moral dan etika yang dipropokasi banyak guru besar? Tidak ada yang salah dalam dunia demokrasi. Semua orang bebas berpendapat. Namun, ketika para guru besar tersebut mengagungkan moral dan etika yang harus dijadikan pegangan dalam demokrasi, sebagai akademisi, harusnya mereka juga menyuarakan hal yang serupa dalam praktek yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi dan akademik. Misalnya, banyak akademisi dari kampus-kampus berlomba untuk menjadi professor. Meskipun ini bagus karena dalam menaikan jumlah professor yang ada di Indonesia, prakteknya pemenuhan syarat untuk posisi guru besar (professor) ini banyak dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari moral dan etika. Misalnya, kewajiban para professor untuk menulis jurnal internasional sering kali tidak dibuat oleh mereka sendiri tetapi menempelkan nama mereka pada mahasiswa di tingkat magister dan doktoral. Tentu, tidak ada larangan untuk ini asalkan ada kontribusi, namun kenyataannya banyak juga yang tidak memberikan kontribusi tetapi namanya harus ditempelkan.

Contoh lainnya adalah pabrikasi hasil penelitian yang menggunakan data yang sebenarnya tidak ada penelitianya. Ini banyak terjadi di kampus-kampus, lihat pemberitaan media harian Kompas mengenai praktek ini yang makin marak di dunia kampus, seolah menunjukkan bahwa moral dan etika itu hanya ada dibibir saja. Faktanya, suara kampus mengenai praktek ini nyaris sunyi tidak terdengar. Disamping praktik pengajuan guru besar itu sendiri masih menyisakan pertanyaan besar mengenai kontribusi para guru besar dalam bidangnya masing-masing. Atau, pengajuan guru besar ini hanya sebuah cara untuk menaikan kesejahteraan professor itu sendiri tanpa memikirkan jutaan siswa Indonesia yang ingin kuliah tetapi gagal karena kesulitan biaya, yang mestinya biaya tunjangan guru besar ini bisa dijadikan suatu alternatif untuk itu. Sekali lagi, ada sisi pertentangan yang luput dari padangan mata para guru besar ketika mereka sibuk mempromosikan moral dan etika, diwaktu yang sama mereka juga menutup mata dan telinga mengenai praktek-praktek yang jauh dari moral dan etika, yang terjadi di kampus. 

Bahkan praktek politik kampus dalam pemilihan jabatan tertentu dikampus, misal rektor, selalu menyajikan sisi-sisi gelap moral dan etika. Banyak berita yang mengungkap proses saling gugat kepengadilan dalam pemilihan rektor karena kotornya praktek yang dilakukan dalam kontestasi. Tentu tulisan ini bukan ingin menghakimi apa yang terjadi dalam dunia akademik, namun, bangsa ini punya penyakit akut hipokrisi, yang mungkin menjamur juga dikalangan para akademisi. Hiporiksi moral dan etika dalam dunia akademik mungkin telah menjangkiti para guru besar, atau akademik lainnya dimana mereka bisa mengutuk keras ketidakpatutan pada moral dan etika dalam berdemokrasi, dan waktu yang sama mereka juga mengambil peran dalam mengangkangi moral dan etika dalam dunianya sendiri. 

Catatan: Tulisan ini hanya opini pribadi penulis.

1 komentar untuk "Hipokrisi Moral and Etika Para Akademisi"