Hipokrisi Moral and Etika Para Akademisi
Apa salahnya klaim moral dan etika yang dipropokasi banyak guru besar? Tidak ada yang salah dalam dunia demokrasi. Semua orang bebas berpendapat. Namun, ketika para guru besar tersebut mengagungkan moral dan etika yang harus dijadikan pegangan dalam demokrasi, sebagai akademisi, harusnya mereka juga menyuarakan hal yang serupa dalam praktek yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi dan akademik. Misalnya, banyak akademisi dari kampus-kampus berlomba untuk menjadi professor. Meskipun ini bagus karena dalam menaikan jumlah professor yang ada di Indonesia, prakteknya pemenuhan syarat untuk posisi guru besar (professor) ini banyak dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari moral dan etika. Misalnya, kewajiban para professor untuk menulis jurnal internasional sering kali tidak dibuat oleh mereka sendiri tetapi menempelkan nama mereka pada mahasiswa di tingkat magister dan doktoral. Tentu, tidak ada larangan untuk ini asalkan ada kontribusi, namun kenyataannya banyak juga yang tidak memberikan kontribusi tetapi namanya harus ditempelkan.
Contoh lainnya adalah pabrikasi hasil penelitian yang menggunakan data yang sebenarnya tidak ada penelitianya. Ini banyak terjadi di kampus-kampus, lihat pemberitaan media harian Kompas mengenai praktek ini yang makin marak di dunia kampus, seolah menunjukkan bahwa moral dan etika itu hanya ada dibibir saja. Faktanya, suara kampus mengenai praktek ini nyaris sunyi tidak terdengar. Disamping praktik pengajuan guru besar itu sendiri masih menyisakan pertanyaan besar mengenai kontribusi para guru besar dalam bidangnya masing-masing. Atau, pengajuan guru besar ini hanya sebuah cara untuk menaikan kesejahteraan professor itu sendiri tanpa memikirkan jutaan siswa Indonesia yang ingin kuliah tetapi gagal karena kesulitan biaya, yang mestinya biaya tunjangan guru besar ini bisa dijadikan suatu alternatif untuk itu. Sekali lagi, ada sisi pertentangan yang luput dari padangan mata para guru besar ketika mereka sibuk mempromosikan moral dan etika, diwaktu yang sama mereka juga menutup mata dan telinga mengenai praktek-praktek yang jauh dari moral dan etika, yang terjadi di kampus.
Bahkan praktek politik kampus dalam pemilihan jabatan tertentu dikampus, misal rektor, selalu menyajikan sisi-sisi gelap moral dan etika. Banyak berita yang mengungkap proses saling gugat kepengadilan dalam pemilihan rektor karena kotornya praktek yang dilakukan dalam kontestasi. Tentu tulisan ini bukan ingin menghakimi apa yang terjadi dalam dunia akademik, namun, bangsa ini punya penyakit akut hipokrisi, yang mungkin menjamur juga dikalangan para akademisi. Hiporiksi moral dan etika dalam dunia akademik mungkin telah menjangkiti para guru besar, atau akademik lainnya dimana mereka bisa mengutuk keras ketidakpatutan pada moral dan etika dalam berdemokrasi, dan waktu yang sama mereka juga mengambil peran dalam mengangkangi moral dan etika dalam dunianya sendiri.
Catatan: Tulisan ini hanya opini pribadi penulis.
Mantaap di tunggu tulisan selanjutnya
BalasHapus