Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendidik Anak dengan Growth Mindset

Di lingkungan sekolah, kiranya kita sering mendengar adanya istilah “anak pintar” dan “anak pemalas”. Julukan “anak pintar” biasanya ditujukan pada anak yang mampu menjawab soal dengan benar atau mampu melakukan sesuatu sesuai instruksi guru. Sementara julukan “anak pemalas” akan melekat pada anak yang berperilaku sebaliknya. Rasanya fenomena ini wajar terjadi karena manusia cenderung terbiasa menamai segala hal yang ia temukan. Melihat dari sisi teori belajar kondisioning, pujian dari guru diharapkan dapat menjadi penguat (reinforcement) agar siswa meningkatkan performa belajarnya. Sementara cap atau label “anak pemalas” diberikan agar siswa menjadi lebih rajin belajar. Tujuan yang mulia, namun seperti yang pernah saya—atau  bahkan Anda—alami, banyak siswa di luar sana yang dicap “pemalas” tidak menjadi lebih semangat untuk belajar.


Satu asumsi menarik lainnya adalah “anak pintar” sering diasosiasikan pada mereka yang nilai rapornya tinggi, apalagi siswa yang pandai matematika, atau setidaknya bisa memecahkan kasus operasi hitung yang rata-rata siswa kebingungan untuk menyelesaikannya. Anak yang pandai di bidang lain, relatif lebih jarang disebut “anak pintar”. Lalu, memangnya kenapa hal ini menjadi menarik? Tentu saja, labelling kepada siswa (terutama usia kanak-kanak) nyatanya krusial dalam menentukan masa depan mereka. Setidaknya, berdampak pada pola pikir mereka.


Lebih-lebih di Indonesia, bisa Anda cek jumlah pengangguran terbuka di situs BPS, kebanyakan adalah lulusan sekolah menengah dan sekolah tinggi. Terlepas dari kompleksnya faktor yang ikut andil, fakta kecil yang bisa kita simpulkan adalah semakin tinggi tingkat pendidikan di Indonesia, jumlah penganggurannya cenderung meningkat. Bisa saja data tersebut muncul karena jumlah lulusan sekolah menengah sangat banyak sehingga persentase penganggurannya terlihat tinggi. Di samping itu, ada satu alternatif yang bisa kita “curigai” bersama. Ya, lingkungan sekolah. Tidak bermaksud generalisasi, hanya saja bisa kita lihat di beberapa sekolah, kebiasaan melabeli siswa dengan kata-kata negatif masih ada dan disadari atau tidak, berdampak pada mental siswa secara permanen. Perlu dicatat bahwa bukan berarti guru tidak boleh melabeli, memuji, dan menghukum siswa. Hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh guru adalah apakah mereka mengenal karakter masing-masing siswanya, dan bagaimana respons alami mereka saat dijuluki dengan kata tertentu. Dengan begitu, guru bisa lebih luwes dalam memutuskan metode pengajaran dan tidak memaksakan kemampuan siswa.


Jo Boaler, seorang profesor Pendidikan Matematika asal Inggris, mengatakan bahwa mitos tentang otak kita memang sudah didesain untuk salah satu kemampuan tertentu (fixed mindset) adalah tidak akurat secara saintifik, bahkan berdampak buruk pada pendidikan dan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kita bisa mengajarkan pola pikir bertumbuh (growth mindset) bahwa tiap anak memiliki potensi untuk menguasai bidang apa pun yang ia minati. Apalagi matematika, mata pelajaran yang konon ditakuti banyak siswa di Indonesia. Dengan menerapkan growth mindset, kita akan berpikir bahwa kesulitan yang kita hadapi adalah tantangan dan bukan sesuatu yang mengancam. Tantangan yang membuat kita bisa terus bertumbuh. Lebih jauh lagi, pola pikir ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti saat mencari pekerjaan atau meyelesaikan masalah sosial. Tentu tidak mudah, namun dengan begitu kita bisa menjalani kehidupan dengan risiko stres yang rendah dan tidak menyalahkan takdir sebagai sebuah alasan kegagalan.


Source: BPS, Mathematical Mindset, Cognitive Psychology, Pedagogik Pendidikan Dasar

Writer: Dais Muhamad Rizki

Posting Komentar untuk "Mendidik Anak dengan Growth Mindset"