Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Disonansi Kognitif: Alasan Sederhana untuk Berbaik Sangka

Pernahkah Anda mendengar kata munafik? Terlebih di Indonesia, belakangan sepertinya kata ini cukup familiar digunakan dalam konotasi negatif. Kata munafik biasanya ditujukan pada seseorang yang tingkah lakunya berlawanan dengan apa yang ia katakan. Menurut norma dan etika setempat, perilaku nifaq adalah salah satu perilaku tidak terpuji sehingga masyarakat kita menjadi terbiasa untuk memberikan sanksi sosial atau hanya sekedar peringatan tertentu kepada orang yang dinilai telah berbuat nifaq. Sedikit berasumsi, di media sosial saat ini, sebagian orang bertindak lebih jauh dengan memberikan penghakiman yang terlalu cepat kepada orang yang bahkan tidak mereka kenal di dunia nyata. Jelas, salah satu contohnya adalah melabeli orang lain dengan kata “munafik”.


Dibalik maraknya fenomena “online labelling” ini, mungkin Anda pernah bertanya, kenapa hal ini bisa tejadi? Atau, betulkah orang yang menjadi objek penilaian massa benar-benar hipokrit? Salah satu teori psikologi sosial ini kiranya bisa memberikan sedikit kejelasan.


Teori ini dicetuskan oleh Leon Festinger pada tahun 1957, yaitu teori disonansi kognitif. Disonansi kognitif adalah perasaan tidak nyaman yang muncul ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap atau preferensinya. Sekilas, pengertian ini mirip dengan konsep hipokrit atau munafik, namun sebetulnya 2 hal ini berbeda. Hipokrit lebih merujuk pada perilaku sadar seseorang yang berlawanan dengan prinsip dan nilai yang ia nyatakan. Sementara itu, disonansi kognitif merupakan perasaan tidak nyaman yang muncul—salah satunya adalah ketika seseorang berbuat hipokrit—akibat adanya disonansi, yaitu inkonsistensi atau konflik antara dua pikiran/kognisi atau konflik antara perilaku yang terjadi dengan sikap (kognisi juga termasuk dimensi sikap) yang telah dimiliki. Lalu, seseorang akan mengubah perilaku atau kognisinya, atau menambah kognisi baru untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan yang muncul. Contoh sederhananya misal ketika orang merokok (perilaku) dan mereka tahu bahwa merokok menyebabkan kanker (kognisi), mereka berada dalam keadaan disonansi kognitif. Untuk mengurangi ketidaknyamanan yang muncul, orang tersebut mungkin akan mencari dalih (kognisi baru) bahwa rokok (misalnya) menguntungkan ekonomi negara, atau berhenti merokok, atau malah berpikir bahwa sebetulnya ia memang harus berhenti merokok.


Tiga faktor yang menyebabkan disonansi kognitif adalah kepatuhan karena terpaksa, pengambilan keputusan, dan upaya. Ketika seseorang dipaksa untuk melakukan (secara publik) sesuatu yang mereka (secara pribadi) benar-benar tidak ingin lakukan, disonansi tercipta antara kognisi mereka (saya tidak ingin melakukan ini) dan perilaku mereka (saya melakukannya). Contoh, mungkin Anda mengenal seorang anak yang hanya solat ketika ayahnya berada di rumah, boleh jadi ini merupakan indikasi bahwa sebetulnya anak tersebut solat semata-mata karena patuh/takut dimarahi orang tuanya. Tentu kita tidak bisa mengatakan jika anak tersebut munafik. Kebiasaan seperti ini jika terbawa hingga dewasa, bisa membentuk perilaku manipulatif. Ia bisa saja membenarkan segala cara dan pencitraan diri yang berlebihan untuk melindungi diri agar tidak dihakimi orang lain. Di Jawa Barat, istilah gaulnya adalah “jago ngeles”. Terkait pengambilan keputusan, bisa kita rasakan contohnya saat kita hendak memilih pekerjaan A atau B atau memilih PTN/PTS.  Ketika sudah memutuskan suatu hal, kita cenderung fokus pada kelebihan pilihan kita agar kita merasa lega. Sedangkan faktor upaya, maksudnya adalah disonansi kognitif akan terjadi ketika hasil dari usaha kita tidak sesuai harapan, kita cenderung akan meyakinkan diri sendiri bahwa semua itu tidak sia-sia. Boleh jadi kita akan menganggap bahwa usaha kita sudah cukup banyak atau menganggap bahwa prosesnya menyenangkan.


Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa disonansi kognitif tidak sama dengan hipokrit. Implikasinya, tidak semua perilaku seseorang yang bertentangan dengan sikapnya boleh dicap munafik. Jelas, kehati-hatian dalam menghakimi perilaku seseorang sangat diperlukan mengingat banyaknya faktor yang mungkin tidak kita ketahui tentang mengapa perbuatan seseorang berbeda dengan apa yang ia katakan/yakini. Sebagai tambahan, di dalam agama islam, ada konsep husnuzhan atau berbaik sangka. Kiranya pemeluk islam bisa menjadikan disonansi kognitif sebagai dasar untuk berbaik sangka terhadap tindakan orang lain.


Sumber: Handbook of Theories of Social Psychology; Simply Psychology

Writer: Dais Muhamad Rizki

Posting Komentar untuk "Disonansi Kognitif: Alasan Sederhana untuk Berbaik Sangka"