Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kecanggihan Akal Manusia dalam Menghadapi Kematiannya

 Sudah menjadi hukum alam, bahwa setiap makhluk hidup pasti akan mati. Tidak terkecuali manusia, kita sudah diberitahu sejak kecil bahwa waktu kita terbatas. Mungkin Anda pernah mendengar pepatah Mahatma Ghandi, “Hiduplah seakan-akan engkau akan mati besok, belajarlah seakan-akan engkau akan hidup selamanya”. Namun, pernahkah terbesit di benak Anda, mengapa manusia menciptakan dan melakukan berbagai upaya pemulihan dan memperpanjang harapan hidup? Dan mengapa kita peduli pada kematian?

Sekitar tahun 1980-an, tiga orang psikolog sosial ikut berusaha menguraikan topik ini. Mereka mencetuskan Terror Management Theory—selanjutnya disingkat TMT—yang awalnya dirumuskan dari 3 buku Ernest Becker, seorang antropolog. Ringkasnya, teori ini mengkaji cara manusia mengelola kesadaran mereka akan kematian sebagai takdir yang tidak dapat dihindari. Seperti namanya, teori ini mengungkap bahwa manusia yang sadar akan kematian bisa mengalami existential terror, sebuah teror yang terjadi saat manusia merasa kehilangan makna hidup dan merasa tidak berharga karena keadaannya yang fana.


Untuk membebaskan diri dari ketakutan ini, manusia perlu berpegang pada konstruksi sosial yang bernama cultural worldview. Agak sulit dicari padanan katanya, namun bisa dikatakan cultural worldview ini merupakan sejenis jalan hidup atau pandangan masing-masing orang atau masyarakat terhadap dunia dan hakikat kehidupannya. Cara lain adalah meningkatkan self-esteem atau harga diri. Umumnya, manusia mampu berusaha membangun keyakinan bahwa dirinya adalah kontributor yang bermakna bagi dunia ini. Bersama-sama, dua konsep ini menjadi “penangkal kecemasan” berkerangka budaya yang memberi makna agar tiap individu tetap bergairah untuk menjalani hidup. Betapapun demikian, cultural worldview bersifat rapuh. Jika seseorang bertemu dengan orang lain yang memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan dirinya, kemungkinan besar orang tersebut akan mempertanyakan konstruksi sosial yang ia yakini, sehingga ia cenderung defensif terhadap nilai yang dianutnya.


Terdapat 4 cara yang biasa dilakukan manusia untuk mempertahankan cultural worldview: derogasi, akomodasi, asimilasi, dan agresi. Menganggap remeh atau menyepelekan worldview orang lain disebut derogasi. Akomodasi terjadi ketika seseorang memasukkan pandangan orang lain yang tidak mengancam ke dalam worldview-nya sendiri. Asimilasi adalah upaya manusia untuk mengajak orang lain memeluk worldview yang sama. Sementara manusia yang agresif akan berusaha merusak atau memusnahkan orang yang pandangannya berbeda dengannya. Menilik lebih jauh, rupanya bisa kita sepakati bahwa cinta, benci, damai, dan perang diantara manusia tumbuh di atas akar yang sama. Sama-sama ingin bertahan hidup dan membebaskan diri dari kecemasan akan misteri kematian. Perlu dicatat bahwa TMT ini tidak mengabaikan motivasi lain yang mendorong perilaku manusia.


 Kemampuan akal yang kompleks membuat manusia menjadi sadar bahwa eksistensi dirinya di dunia hanyalah sementara. Kesadaran ini membuat kita cemas. Namun terlepas dari apa pun alasannya, manusia memang cenderung menghindari sensasi sakit termasuk kematian. Kesadaran ini disebut sebagai “mortality salience”.


Untuk mengurangi kekhawatirannya, terciptalah perilaku coping mechanisms atau mekanisme penanganan. Agama, filsafat, seni, dan sains merupakan contoh produk coping yang paling nyata.


Ada dua jenis coping mechanisms yang disebut sebagai dual-defense model yaitu proximal defense dan distal defense. Proximal defense merupakan pola penanganan yang bersifat sadar, logis, langsung, dan dilakukan melalui perangkat fisik hasil kebudayaan. Misalnya, manusia melakukan domestikasi hewan liar dan membuat tempat yang hangat dan aman saat terjadi badai. Sementara itu, distal defense adalah pola penanganan yang bersifat tidak disadari, tidak menunjukkan adanya hubungan logis dengan kematian, tidak langsung, dan dilakukan dengan memanfaatkan perangkat simbolis. Contohnya, menjadi orang yang dermawan atau melakukan ritual pemujaan.


Dengan kecerdasannya, manusia berusaha menguak misteri kehidupan dan kematian dengan memajukan ilmu pengetahuan. Sebagian lain fokus pada pemaknaan hidup dan keberserahan diri. Sebagian lain jujur dengan mengekspresikan ketakutan dan keterbatasannya lewat seni. Kita mungkin sudah mendengar proyek Landing on Mars atau pun gagasan pemakaman luar angkasa. Semua itu boleh dikatakan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan gennya selama mungkin.


Sumber: Handbook of Theories of Social Psychology

Writer: Dais Muhamad Rizki

Posting Komentar untuk "Kecanggihan Akal Manusia dalam Menghadapi Kematiannya"